Pendidikan merupakan suatu hal yang
penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan adalah proses sosial dimana orang
dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga
mereka dapat memperoleh kemampuan sosial dan perkembangan sosial yang optimal[1].
Pendidikan merupakan proses pembelajaran agar menciptakan manusia yang memiliki
kemampuan sosial yang optimal antara individu dengan masyarakat dan lingkungan
disekitarnya.
Dalam pendidikan, pendidik
memberikan suatu pengajaran atau ilmu kepada peserta didik dengan cara, metode
ataupun perilaku. Pendidikan tidak hanya terjadi dalam lingkungan sekolah,
tempat kursus atau masyrakat saja namun pendidikan juga terjadi dalam
lingkungan rumah tangga (keluarga). Apakah dengan pendidikan yang diterima
dapat memberi dampak positif (rajin, berprilaku baik, sopan dan sebagainya)
atau memberi dampak negative (malas, nakal, keras kepala dan sebagainya).
Pendidikan serta pengalaman yang
diberikan dengan baik bahkan telah ditanamkan sejak kecil akan menjadikan
mental yang sehat. Pendidikan dalam hubungannya dengan kesehatan mental
bukanlah pendidikan yang disengaja, yang ditujukan kepada objek yang didik,
melainkan lebih daripada itu adalah keadaan, suasana, hubungan satu dengan yang
lainnya dan sikap atau perilaku yang ditunjukkan.
Menjadi kenyataan bahwa keadaan
orangtua, sikapnya terhadap anak sebelum dan sesudah anak lahir, ada
pengaruhnya terhadap kesehatan mental si anak. Banyak sekali kita temui dalam
hidup, di mana anak-anak menderita bukan karena kurang pemeliharaan, makan,
pakaian, jajan dan sebagainya. Tapi mereka menderita, meskipun mereka tetap
diperlakukan dengan baik oleh kedua orang tuanya.
Pendidikan yang baik, bukan hanya
pendidikan yang di sengaja, latihan kebiasaan-kebiasaan yang baik, seperti
kebiasaan waktu makan, tidur, main atau latihan-latihan sopan-santun yang harus
dibiasakan oleh si anak sejak kecil atau kebiasaan belajar yang baik. Tapi yang
jauh lebih penting dari itu adalah sikap dan cara orang tua menghadapi hidup
pada umumnya dan cara memperlakukan si anak. Orangtua, terutama ibu, haruslah
dapat memperlakukan si anak demikian rupa, sehingga ia merasa diperhatikan dan
disayangi oleh ibunya, walaupun ia dimarahi waktu bersalah, tetapi dengan
marahnya ibu itu, ia masih dapat merasakan kesayangan ibunya dan dapat
menyadari bahwa ia salah dan patut dimarahi.
Disamping si anak merasa bahwa ia
disayangi, harus pula dapat merasakan bahwa tidak ada yang menakutkan atau yang
membingungkan dalam keluarga, sepreti orang tua yang saling berkelahi yang
menyebabkan si anak tidak ada ketenangan dalam rumah itu. Ia bingung kemanakah
ia harus berpihak, kepada ibukah atau kepada bapak? Ia tidak merasa tentram
dalam gelombang panas yang sering melanda suasana ibu bapaknya. Anak-anak yang
melihat atau mengetahui bahwa orang tuanya sering bertengkar atau tidak cocok
sikapnya, akan merasa sedih, hilangkan nafsu makannya, bahkan mungkin sering
sakit. Dalam pendidikan rumah tangga harus terjalin suasana keluarga yang
harmonis, hubungan antara ibu dan bapak serta satu dengan yang lainnya harus
baik. Agar tercipta mental yang sehat.
Pendidikan dan pembinaan kepribadian
anak-anak yang telah dimulai dari rumah tangga, harus dapat dilanjutkan dan
disempurnakan oleh sekolah. Banyak kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh anak
ketika mulai masuk sekolah, masuk kedalam lingkungan baru, yang sudah mulai
berbeda dari rumah. Sekolah mempunyai peraturan-peraturan yang harus dipatuuhi
dan mempunyai larangan-larangan yang
perlu diindahkan. Jika guru tidak berusaha memahami kesukaran-kesukaran yang
dihadapi oleh si anak ketika pertama kali masuk kesekolah, mungkin akan
menyebabkan si anak benci kepada suasana sekolah, terutama apabila ia datang
dari rumah tangga yang memanjakannya. Amatlah sukar baginya untuk menerima peraturan-
peraturan dan perlakuan guru-gurunya. Mungkin ia akan mempunyai rasa negatif
terhadap sekolah dan guru- gurunya untuk selama-lamanya.
Tugas sekolah dalam menciptakan
mental yang sehat bagi si anak, tidaklah ringan. Guru juga harus dapat menjamin
kebutuhan-kebutuhan jiwa si anak. Anak yang
kelihatan bodoh, pemalas, suka mengganggu kawan-kawannya, tidak mau tunduk kepada peraturan-peraturan disekolah
dan sebagainya, janganlah dimarahi atau dihukum, tetapi usahakanlah memahaminya
dan menolongnya untuk menyesuaikan diri, serta menyelidiki apa yang terjadi
dirumahnya.
Orang tua harus diajak berdiskusi,
barangkali kebodohan dan kenakalan anak-anak itu adalah akibat kegelisahan batin yang dideritanya
dalam perlakuan dirumah. Dan mungkin pula ia anak manja yang jarang mendapat kesempatan bergaul dengan anak-anak
lain. Dalam hal ini guru harus mengatur ekstra kurikulum yang dapat mendekatkan
satu anak dengan yang lainnya. Karena ketidakmampuan bergaul juga menyebabkan
anak-anak gelisah dan tidak bisa tenang mendengar pelajaran, bahkan mungkin
pula ia akan berusaha menjauhkan diri dari pergaulan dengan anak –anak lain, karena takut akan dicela atau
diolok-olokan oleh kawan-kawannya.
Usia reamaja , guru dan orang tua
juga harus menolong si anak untuk menghadapi kesukaran-kesukaran pribadinya.
Pada fase peralihan dari anak anak menjadi remaja, ia menjadi agak pemalas, perhatian
berubah, dan gelisah melihat perubahan-perubahan dirinya yang cepat sekali. Ia ingin
tahu apakah perubahan-perubahan itu wajar atau tidak, megingat pertumbuhan
badannya tidak seombang, tidak ada keharmonisan gerak dan sebagainya.
Jika orang tua tidak dapat menolong si anak dalam dalam memberi pengertian bahwa
perubahan-perubahan yang dirasakannya itu ialah wajar, maka guru-guru dapat
memberikan penjelasan-penjelasan itu kepada
anak-anak yang meningkat masa remaja itu, tentang ciri-ciri dari
pertumbuhan yang sedang mereka alami, naik dalam mata pelajaran, maupun dalam
ekstra kurikulum.
Disamping persolan pertumbuhan
badaniah, banyak pula probelm yang dahulu
ketika ia masih kecil belum terasa. Ada problem yang berhubungan dengan
pelajaran, cara belajar dan meghadapi
ujian, disamping persoalan-persoalan
yang dihadapinya karena pertumbuhan minat dan kecendrungan dalam
pergaulan sosial. Persoalan hari depanpun tidak sedikit megambil perhatian mereka .Yang terpenting pula adalah
persoalan-persoalan seksuil, yang oleh
masyarakat seringkali dipandang tabu membicarakannya. Jarang sekali orang tua
yang mau mendiskusikan hal tersebut kepada naknya Anak megalami perubahan-perubahan dalam
dirinya sendiri, kesehatan, perasaan dan sebagainya, yang sudah tentu membawa
akibat tidak sedikit pada perhatiannya, karena ia ingin tahu, ingin penjelasan
, selaku sekolah harus dapat menolong dalam menyelesaikannya. Jika tidak bisa
menolong anak-anak mencari sendiri sesama mereka, tanpa bimbingan orang yang
mengerti. Mungkin anak-anak mencapai pengertian itu dengan cara yang sehat,
tetapi mungkin pula mereka akan mencari penyelesaian dengan meraba-raba,
mencari-cari dengan caranya sendiri-sendiri, yang menyesatkan. Dan ada juga
yang jatuh kepada kelakuan-kelakuan yang menyesatkan. Dan ada juga yang jatuh
kepada ketegangan batin,kegelisahan dankesedihan,bahkan mungkin menderita
gangguan jiwa.
Jika problem anak-anak remaja itu
tidak selesai sebelum mereka masuk kepada usia dewasa,maka kegoncangan jiwanya
akan tetap terasa, sebelum dapat disadari dan diusahakannya penyelesaian untuk
itu. Perasaan yang demikian akan mempengaruhi pikiran, kelakuan dan kesehatan
atau kebahagiaan pada umumnya. Dalam hal ini maka hubungan antara pendidik
dengan peserta didik dan orang tua atau wali haruslah terjalin dengan baik.
Sehingga manusia diharapkan mampu memahami
dirinya sendiri, orang lain serta lingkungannya. Dengan demikian pendidikan
sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan mental.
DAFTAR PUSTAKA
Zahara, Idris,
1987, Dasar-Dasar Pendidikan, Padang: Angkasa Raya.
Daradjat,
Zakiah, 2001, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung