Senin, 20 Mei 2013

Pengaruh Pendidikan terhadap Kesehatan Mental



Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan adalah proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga mereka dapat memperoleh kemampuan sosial dan perkembangan sosial yang optimal[1]. Pendidikan merupakan proses pembelajaran agar menciptakan manusia yang memiliki kemampuan sosial yang optimal antara individu dengan masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Dalam pendidikan, pendidik memberikan suatu pengajaran atau ilmu kepada peserta didik dengan cara, metode ataupun perilaku. Pendidikan tidak hanya terjadi dalam lingkungan sekolah, tempat kursus atau masyrakat saja namun pendidikan juga terjadi dalam lingkungan rumah tangga (keluarga). Apakah dengan pendidikan yang diterima dapat memberi dampak positif (rajin, berprilaku baik, sopan dan sebagainya) atau memberi dampak negative (malas, nakal, keras kepala dan sebagainya).
Pendidikan serta pengalaman yang diberikan dengan baik bahkan telah ditanamkan sejak kecil akan menjadikan mental yang sehat. Pendidikan dalam hubungannya dengan kesehatan mental bukanlah pendidikan yang disengaja, yang ditujukan kepada objek yang didik, melainkan lebih daripada itu adalah keadaan, suasana, hubungan satu dengan yang lainnya dan sikap atau perilaku yang ditunjukkan.
Menjadi kenyataan bahwa keadaan orangtua, sikapnya terhadap anak sebelum dan sesudah anak lahir, ada pengaruhnya terhadap kesehatan mental si anak. Banyak sekali kita temui dalam hidup, di mana anak-anak menderita bukan karena kurang pemeliharaan, makan, pakaian, jajan dan sebagainya. Tapi mereka menderita, meskipun mereka tetap diperlakukan dengan baik oleh kedua orang tuanya.
Pendidikan yang baik, bukan hanya pendidikan yang di sengaja, latihan kebiasaan-kebiasaan yang baik, seperti kebiasaan waktu makan, tidur, main atau latihan-latihan sopan-santun yang harus dibiasakan oleh si anak sejak kecil atau kebiasaan belajar yang baik. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah sikap dan cara orang tua menghadapi hidup pada umumnya dan cara memperlakukan si anak. Orangtua, terutama ibu, haruslah dapat memperlakukan si anak demikian rupa, sehingga ia merasa diperhatikan dan disayangi oleh ibunya, walaupun ia dimarahi waktu bersalah, tetapi dengan marahnya ibu itu, ia masih dapat merasakan kesayangan ibunya dan dapat menyadari bahwa ia salah dan patut dimarahi.
Disamping si anak merasa bahwa ia disayangi, harus pula dapat merasakan bahwa tidak ada yang menakutkan atau yang membingungkan dalam keluarga, sepreti orang tua yang saling berkelahi yang menyebabkan si anak tidak ada ketenangan dalam rumah itu. Ia bingung kemanakah ia harus berpihak, kepada ibukah atau kepada bapak? Ia tidak merasa tentram dalam gelombang panas yang sering melanda suasana ibu bapaknya. Anak-anak yang melihat atau mengetahui bahwa orang tuanya sering bertengkar atau tidak cocok sikapnya, akan merasa sedih, hilangkan nafsu makannya, bahkan mungkin sering sakit. Dalam pendidikan rumah tangga harus terjalin suasana keluarga yang harmonis, hubungan antara ibu dan bapak serta satu dengan yang lainnya harus baik. Agar tercipta mental yang sehat.
Pendidikan dan pembinaan kepribadian anak-anak yang telah dimulai dari rumah tangga, harus dapat dilanjutkan dan disempurnakan oleh sekolah. Banyak kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh anak ketika mulai masuk sekolah, masuk kedalam lingkungan baru, yang sudah mulai berbeda dari rumah. Sekolah mempunyai peraturan-peraturan yang harus dipatuuhi dan mempunyai larangan-larangan  yang perlu diindahkan. Jika guru tidak berusaha memahami kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh si anak ketika pertama kali masuk kesekolah, mungkin akan menyebabkan si anak benci kepada suasana sekolah, terutama apabila ia datang dari rumah tangga yang memanjakannya. Amatlah sukar baginya untuk menerima peraturan- peraturan dan perlakuan guru-gurunya. Mungkin ia akan mempunyai rasa negatif terhadap sekolah dan guru- gurunya untuk selama-lamanya.
Tugas sekolah dalam menciptakan mental yang sehat bagi si anak, tidaklah ringan. Guru juga harus dapat menjamin kebutuhan-kebutuhan jiwa si anak.  Anak yang kelihatan bodoh, pemalas, suka mengganggu kawan-kawannya, tidak mau  tunduk kepada peraturan-peraturan disekolah dan sebagainya, janganlah dimarahi atau dihukum, tetapi usahakanlah memahaminya dan menolongnya untuk menyesuaikan diri, serta menyelidiki apa yang terjadi dirumahnya.
Orang tua harus diajak berdiskusi, barangkali kebodohan dan kenakalan anak-anak itu adalah  akibat kegelisahan batin yang dideritanya dalam perlakuan dirumah. Dan mungkin pula ia anak manja yang jarang  mendapat kesempatan bergaul dengan anak-anak lain. Dalam hal ini guru harus mengatur ekstra kurikulum yang dapat mendekatkan satu anak dengan yang lainnya. Karena ketidakmampuan bergaul juga menyebabkan anak-anak gelisah dan tidak bisa tenang mendengar pelajaran, bahkan mungkin pula ia akan berusaha menjauhkan diri dari pergaulan dengan anak –anak  lain, karena takut akan dicela atau diolok-olokan oleh kawan-kawannya.
Usia reamaja , guru dan orang tua juga harus menolong si anak untuk menghadapi kesukaran-kesukaran pribadinya. Pada fase peralihan dari anak anak menjadi remaja, ia menjadi agak pemalas, perhatian berubah, dan gelisah melihat perubahan-perubahan dirinya yang cepat sekali. Ia ingin tahu apakah perubahan-perubahan itu wajar atau tidak, megingat pertumbuhan badannya tidak seombang, tidak ada keharmonisan gerak dan sebagainya.
Jika orang tua tidak dapat menolong  si anak dalam dalam memberi pengertian bahwa perubahan-perubahan yang dirasakannya itu ialah wajar, maka guru-guru dapat memberikan penjelasan-penjelasan itu kepada  anak-anak yang meningkat masa remaja itu, tentang ciri-ciri dari pertumbuhan yang sedang mereka alami, naik dalam mata pelajaran, maupun dalam ekstra kurikulum.
Disamping persolan pertumbuhan badaniah, banyak pula probelm  yang dahulu ketika ia masih kecil belum terasa. Ada problem yang berhubungan dengan pelajaran, cara belajar  dan meghadapi ujian, disamping persoalan-persoalan  yang dihadapinya karena pertumbuhan minat dan kecendrungan dalam pergaulan sosial. Persoalan hari depanpun tidak sedikit megambil  perhatian mereka .Yang terpenting pula adalah persoalan-persoalan  seksuil, yang oleh masyarakat seringkali dipandang tabu membicarakannya. Jarang sekali orang tua yang mau mendiskusikan hal tersebut kepada naknya  Anak megalami perubahan-perubahan dalam dirinya sendiri, kesehatan, perasaan dan sebagainya, yang sudah tentu membawa akibat tidak sedikit pada perhatiannya, karena ia ingin tahu, ingin penjelasan , selaku sekolah harus dapat menolong dalam menyelesaikannya. Jika tidak bisa menolong anak-anak mencari sendiri sesama mereka, tanpa bimbingan orang yang mengerti. Mungkin anak-anak mencapai pengertian itu dengan cara yang sehat, tetapi mungkin pula mereka akan mencari penyelesaian dengan meraba-raba, mencari-cari dengan caranya sendiri-sendiri, yang menyesatkan. Dan ada juga yang jatuh kepada kelakuan-kelakuan yang menyesatkan. Dan ada juga yang jatuh kepada ketegangan batin,kegelisahan dankesedihan,bahkan mungkin menderita gangguan jiwa.
Jika problem anak-anak remaja itu tidak selesai sebelum mereka masuk kepada usia dewasa,maka kegoncangan jiwanya akan tetap terasa, sebelum dapat disadari dan diusahakannya penyelesaian untuk itu. Perasaan yang demikian akan mempengaruhi pikiran, kelakuan dan kesehatan atau kebahagiaan pada umumnya. Dalam hal ini maka hubungan antara pendidik dengan peserta didik dan orang tua atau wali haruslah terjalin dengan baik.
 Sehingga manusia diharapkan mampu memahami dirinya sendiri, orang lain serta lingkungannya. Dengan demikian pendidikan sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan mental.

DAFTAR PUSTAKA

Zahara, Idris, 1987, Dasar-Dasar Pendidikan, Padang: Angkasa Raya. 
Daradjat, Zakiah, 2001, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung


[1] [1]  Zahra Idris, dasar-Dasar Pendidikan, Padang: Angkasa Raya, 1987, hal 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar