Minggu, 19 Mei 2013

Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam



A.    Konsep Pendidikan Multikultural
Multikulturalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan atas pluralisme budaya.[1] Banks mengartikan pendidikan multikultural sebagai konsep, ide  atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.[2]
Menurut Bennet pendidikan multikultural adalah sebuah pendekatan pada pengajaran yang didasarkan atas nilai dan kepercayaan demokratis dan melihat keragaman sosial dan interpendensi dunia sebagai bagian dari pluralitas budaya. Lee Manning memahami pendidikan multikultural pada proses pengajaran untuk menerima keragaman budaya, ras, gender, dan kelas sosial ekonomi yang berbeda. Dalam multikulturalisme terdapat materi kajian yang menjadi dasar pijakan pelaksanaan pendidikan, yang keduanya sama-sama penting. Dalam pendidikan terdapat fondasi dan akar-akar kultur yang disarikan dari nilai-nilai kultur masyarakat.

B.     Prinsip-Prinsip Pendidikan Multikultural
Terdapat tiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan oleh Tilaar (2004): Pertma, pendidikan multikultural didasarkan pada pedagogik kesateraan manusia (equity pedagogy). Kedua, pendidikan multikulturalisme ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas dan mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dengan sebaik-sebaiknya. Ketiga, prinsip globalisasi tidak perlu ditakuti apabila bangsa ini mengetahui arah serta nilai-nilai baik buruk yang dibawanya.
Ketiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan Tilaar tersebut di atas sudah dapat menggambarkan bahwa arah dari wawasan multikulturalisme adalah menciptakan manusia yang terbuka terhadap segala macam perkembangan zaman dan keragaman berbagai aspek dalam kehidupan modern. Pluralitas budaya, sebagaimana terdapat di Indonesia menempatkan pendidikan multikultural menjadi sangat penting. Keberagaman di Indonesia merupakan kenyataan sosial yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun.
      Keunikan budaya yang beragam memberikan implikasi pola pikir, tingkah laku, dan karakter pribadi yang masing-masing berbeda sebagai sebuah tradisi yang terjadi dalam masyarakat dan daerah. Perbedaan antarbudaya memberikan peluang konflik satu sama lain apabila tidak saling memahami dan menghormati perbedaan yang terjadi pada satu sama lain. Proses untuk meminimalisir masalah tersebut kita memerlukan adanya upaya pendidikan berwawasan multikultural dalam rangka pemberdayaan masyarakat agar saling memahami dan menghormati serta dapat membentuk suatu karakter yang dapat menerima perbedaan. Paradigma pendidikan multikultural harus diterapkan di sekolah/madrasah sebagai sebuah pendidikan yang mempunyai wawasan yang toleran dan terbuka dalam proses pembelajaran kepada peserta didik yang mempunyai latar belakang budaya, suku dan etnis yang berbeda.

C.    Kelemahan Pendidikan Islam di Sekolah
Pendidikan agama, sebagaimana dinyatakan oleh Sealy (1986), diantaranya memiliki fungsi neo confessional yaitu disamping berfungsi meningkatkan keberagaman peserta didik dengan keyakinan agamanya sendiri, juga berfungsi memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas tolerated extras, juga mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis untuk tujuan penanaman sikap pluralism tersebut.
Pendidikan agama dalam pendidikan formal di Indonesia diistilahkan dengan Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan Agama Protestan, Pendidikan Agama hindu dan Pendidikan Agama Budha. Pendidikan Agama Islam yang berwawasan multikultural adalah proses pembelajaran yang memerhatikan segala macam keragaman dalam diri Agama Islam itu sendiri.
Menurut Arifin (1997) ada dua sebab pentingnya pengembangan kajian pendidikan agama. Pertama, pendidikan agama pada dasarnya merupakan instrument strategis bagi pengembangan potensi dasaryang dimiliki seiap manusia, dan diantaranya potensi ini adalah moral yang menjadikan manusia secara essensial dan eksistensial sebagai makhluk religius. Kedua, pendidikan termasuk pendididkan agama tidak diadakan dalam ruang hampa, akan tetapi selalu berhadapan dengan proses dinamis kehidupan masyarakat, hal ini memberikan suatu pemikiran yang proyektif dan antisipatif tentang kecenderungan besar yang akan terjadi pada masa yang akan datang.  Dua peran penting agama dalam kajian sosiologi agama. Pertama, agama ditempatkan sebagai refrensi utama dalam proses perubahan. Kedua, agama menjadi kekuatan yang resistensial dalam masyarakat ketika berada dalam lingkaran kehidupan yang makin kompleks ditengah derasnya arus perubahan.
Pendidikan Agama Islam di lembaga formal hanya memberikan materi yang menekankan pada nilai normatif dan ritualistik saja. Maka dari itu Pendidikan agama perlu mengadakan pembelajaran bernuansa yang menyentuh aspek agama maupun dimensi etik, moral, dan spiritual.

D.    Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam
Menurut Yayah Khisbiyah terdapat beberapa langkah strategis yang merupakan prasyarat untuk mewujudkan bagaimana membenuk Pendidikan Agama Islam berwawasan multikulturalisme yaitu perlu adanya perubahan paradigm dan pola piir dalam menyikapi kemajemukan budaya dalam sisitem pendidikan. Wawasan multikulturalisme, pluralism, dan toleransi perlu dikembangkan sebagai wujud nyata motto Bhineka Tunggal Ika, kemudian melakukan reorentasi visi dan misi serta tidak ketinggalan reskrontruksi penyelengaraan pendidikan nasional yang sejalan dengan wawasan pluralisme dan desentralisasi. Selain itu juga menyusun kurikulum yang berpendekatan lintas budaya dan merumuskan metode belajar masyarakat yang mempunyai sikap inklusif dan toleran terhadap kemajemukan masyarakat di sekelilingnya.
            Untuk itu, beberapa hal yang perlu dikembangkan dalam sisitem Pendidikan Agama Islam antara lain[3], pertama, Pendidikan Agama Islam harus diarahkan agar umat memahami doktrin-doktrin islam secara menyeluruh, tidak hanya pada masalah ritual dan rukun-rukunnya saja. Tidak juga hanya memandang dari sebelah mata saja. Umat islam juga harus diberikan pembelajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dalam realitanya mumat islam tertinggal dari bangsa lain. Kedua, Pendidikan Agama Islam perlu diarahkan pada pencerahan hati dan kecerdasan emosional, tidak hanya pada tataran kognitif agar umat mempunyai wawasan akidah, ruhiyah dan moral yang tinggi, kemampuan empati, simpati dan interaksi dengan nilai-nilai Islam serta peka terhadap masalah yang dihadapi. Ketiga, Pendidikan Agama Islam harus dapat memberikan stimulasi peserta didik untuk mendapatkan latihan-latihan sehingga memiliki kemampuan bukan hanya nilai, sehingga mereka terampil dalam beramal dan menyelesaikan masalah-masalah yang komplek.
            Ketiga langkah tersebut  merupakan sebuah langkah yang bijak bagi pendidik pada lembaga pendidikan di Indonesia, sehingga mampu menciptakan proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural. Sehingga mengurangi konflik yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.



[1]  Tilaar, H.A.R..Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo, 2004, hal.195.
[2]  Ibid
[3]  Mulyanto, “Agama Moral”, Replubika 16 Mei 1997



DAFTAR PUSTAKA

Maslikhah, 2007, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekronstruksi System Pendidikan Berbasis kebangsaan, Surabaya: JP Books.
Sumartana, T.H.dkk, 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agamadi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.A.R, 2004, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo.
Zahara, Idris, 1987, Dasar-Dasar Pendidikan, Padang: Angkasa Raya. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar