A.
Konsep Pendidikan Multikultural
Multikulturalisme
secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan atas pluralisme budaya.[1]
Banks mengartikan pendidikan multikultural sebagai konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian
kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai
pentingnya keragaman budaya dan etis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman
sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu,
kelompok maupun negara.[2]
Menurut
Bennet pendidikan multikultural adalah sebuah pendekatan pada pengajaran yang
didasarkan atas nilai dan kepercayaan demokratis dan melihat keragaman sosial
dan interpendensi dunia sebagai bagian dari pluralitas budaya. Lee Manning
memahami pendidikan multikultural pada proses pengajaran untuk menerima
keragaman budaya, ras, gender, dan kelas sosial ekonomi yang berbeda. Dalam
multikulturalisme terdapat materi kajian yang menjadi dasar pijakan pelaksanaan
pendidikan, yang keduanya sama-sama penting. Dalam pendidikan terdapat fondasi
dan akar-akar kultur yang disarikan dari nilai-nilai kultur masyarakat.
B.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Multikultural
Terdapat tiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan
oleh Tilaar (2004): Pertma, pendidikan multikultural didasarkan pada
pedagogik kesateraan manusia (equity pedagogy). Kedua, pendidikan
multikulturalisme ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas
dan mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan
dengan sebaik-sebaiknya. Ketiga, prinsip globalisasi tidak perlu
ditakuti apabila bangsa ini mengetahui arah serta nilai-nilai baik buruk yang
dibawanya.
Ketiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan Tilaar
tersebut di atas sudah dapat menggambarkan bahwa arah dari wawasan multikulturalisme
adalah menciptakan manusia yang terbuka terhadap segala macam perkembangan
zaman dan keragaman berbagai aspek dalam kehidupan modern. Pluralitas budaya,
sebagaimana terdapat di Indonesia menempatkan pendidikan multikultural menjadi
sangat penting. Keberagaman di Indonesia merupakan kenyataan sosial yang tidak
dapat dipungkiri oleh siapapun.
Keunikan budaya yang
beragam memberikan implikasi pola pikir, tingkah laku, dan karakter pribadi
yang masing-masing berbeda sebagai sebuah tradisi yang terjadi dalam masyarakat
dan daerah. Perbedaan antarbudaya memberikan peluang konflik satu sama lain apabila
tidak saling memahami dan menghormati perbedaan yang terjadi pada satu sama
lain. Proses untuk meminimalisir masalah tersebut kita memerlukan adanya upaya
pendidikan berwawasan multikultural dalam rangka pemberdayaan masyarakat agar
saling memahami dan menghormati serta dapat membentuk suatu karakter yang dapat
menerima perbedaan. Paradigma pendidikan multikultural harus diterapkan di
sekolah/madrasah sebagai sebuah pendidikan yang mempunyai wawasan yang toleran
dan terbuka dalam proses pembelajaran kepada peserta didik yang mempunyai latar
belakang budaya, suku dan etnis yang berbeda.
C.
Kelemahan Pendidikan Islam di Sekolah
Pendidikan
agama, sebagaimana dinyatakan oleh Sealy (1986), diantaranya memiliki fungsi neo
confessional yaitu disamping berfungsi meningkatkan keberagaman peserta
didik dengan keyakinan agamanya sendiri, juga berfungsi memberikan kemungkinan
keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas tolerated
extras, juga mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis untuk
tujuan penanaman sikap pluralism tersebut.
Pendidikan
agama dalam pendidikan formal di Indonesia diistilahkan dengan Pendidikan Agama
Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan Agama Protestan, Pendidikan Agama
hindu dan Pendidikan Agama Budha. Pendidikan Agama Islam yang berwawasan multikultural
adalah proses pembelajaran yang memerhatikan segala macam keragaman dalam diri
Agama Islam itu sendiri.
Menurut
Arifin (1997) ada dua sebab pentingnya pengembangan kajian pendidikan agama. Pertama,
pendidikan agama pada dasarnya merupakan instrument strategis bagi pengembangan
potensi dasaryang dimiliki seiap manusia, dan diantaranya potensi ini adalah
moral yang menjadikan manusia secara essensial dan eksistensial sebagai makhluk
religius. Kedua, pendidikan termasuk pendididkan agama tidak diadakan
dalam ruang hampa, akan tetapi selalu berhadapan dengan proses dinamis
kehidupan masyarakat, hal ini memberikan suatu pemikiran yang proyektif dan
antisipatif tentang kecenderungan besar yang akan terjadi pada masa yang akan
datang. Dua peran penting agama dalam
kajian sosiologi agama. Pertama, agama ditempatkan sebagai refrensi
utama dalam proses perubahan. Kedua, agama menjadi kekuatan yang
resistensial dalam masyarakat ketika berada dalam lingkaran kehidupan yang
makin kompleks ditengah derasnya arus perubahan.
Pendidikan
Agama Islam di lembaga formal hanya memberikan materi yang menekankan pada
nilai normatif dan ritualistik saja. Maka dari itu Pendidikan agama perlu
mengadakan pembelajaran bernuansa yang menyentuh aspek agama maupun dimensi
etik, moral, dan spiritual.
D.
Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam
Menurut Yayah
Khisbiyah terdapat beberapa langkah strategis yang merupakan prasyarat untuk
mewujudkan bagaimana membenuk Pendidikan Agama Islam berwawasan
multikulturalisme yaitu perlu adanya perubahan paradigm dan pola piir dalam
menyikapi kemajemukan budaya dalam sisitem pendidikan. Wawasan multikulturalisme,
pluralism, dan toleransi perlu dikembangkan sebagai wujud nyata motto Bhineka
Tunggal Ika, kemudian melakukan reorentasi visi dan misi serta tidak
ketinggalan reskrontruksi penyelengaraan pendidikan nasional yang sejalan
dengan wawasan pluralisme dan desentralisasi. Selain itu juga menyusun
kurikulum yang berpendekatan lintas budaya dan merumuskan metode belajar
masyarakat yang mempunyai sikap inklusif dan toleran terhadap kemajemukan
masyarakat di sekelilingnya.
Untuk itu, beberapa hal yang perlu
dikembangkan dalam sisitem Pendidikan Agama Islam antara lain[3], pertama,
Pendidikan Agama Islam harus diarahkan agar umat memahami doktrin-doktrin
islam secara menyeluruh, tidak hanya pada masalah ritual dan rukun-rukunnya
saja. Tidak juga hanya memandang dari sebelah mata saja. Umat islam juga harus
diberikan pembelajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dalam realitanya mumat islam tertinggal dari bangsa lain. Kedua, Pendidikan
Agama Islam perlu diarahkan pada pencerahan hati dan kecerdasan emosional,
tidak hanya pada tataran kognitif agar umat mempunyai wawasan akidah, ruhiyah
dan moral yang tinggi, kemampuan empati, simpati dan interaksi dengan
nilai-nilai Islam serta peka terhadap masalah yang dihadapi. Ketiga, Pendidikan
Agama Islam harus dapat memberikan stimulasi peserta didik untuk mendapatkan
latihan-latihan sehingga memiliki kemampuan bukan hanya nilai, sehingga mereka
terampil dalam beramal dan menyelesaikan masalah-masalah yang komplek.
Ketiga langkah tersebut merupakan sebuah langkah yang bijak bagi
pendidik pada lembaga pendidikan di Indonesia, sehingga mampu menciptakan
proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural. Sehingga mengurangi
konflik yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
[1] Tilaar, H.A.R..Multikulturalisme;
Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional,
Jakarta: Grasindo, 2004, hal.195.
[2] Ibid
[3] Mulyanto, “Agama Moral”, Replubika 16 Mei
1997
DAFTAR
PUSTAKA
Maslikhah,
2007, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekronstruksi System Pendidikan
Berbasis kebangsaan, Surabaya: JP Books.
Sumartana,
T.H.dkk, 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agamadi Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.A.R,
2004, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo.
Zahara, Idris,
1987, Dasar-Dasar Pendidikan, Padang: Angkasa Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar